Sejarah
bangsa Indonesia merupakan sejarah panjang peradaban dari berbagai
dinasti-dinasti yang berkuasa. Dengan demikian tidak sedikit dari
warisan-warisan yang ditinggalkan untuk kemajuan bangsa ini diantaranya adalah
buah pikiran dan kitab-kitab hukum dan kesusasteraaan sehingga tidak perlulah
kita mengadopsi berbagai hal-nya dari dunia barat. Kita sebagai bangsa
Indonesia haruslah mementahakan teori dari A. Toynbee yang menyatakan bahwa
dunia berhutang budi pada barat dalam berbagai halnya. Indonesia dengan barat lebih
dahulu Indonesia dalam hal mencapai peradaban.
Sebagai
sebuah bangsa yang kaya akan berbagai buah pikiran bangsa ini cenderung miskin
pengetahuan. Sungguh ironis memang tapi itulah kenyataannya begitu banyak
kitab-kitab yang bernilai tinggi dan pastinya tidak kalah isinya dengan
buku-buku modern buatan bangsa asing. Tapi, seolah-olah bangsa ini malu untuk
mempergunakan dan mempublikasikannya dalam dunia pendidikan sedari dini. Hal
inilah yang menghambat kemajuan bangsa karena untuk menghargai sejarahnya saja
tidak mau. Bayangkan di sekolah mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas
pendidikan sejarah seolah-olah tidak perlu dan di nomor sekiankan, lembaga
pendidikan lebih mengutamakan pelajaran-pelajaran berhitung, kemudian bahasa
dsb. Sejarah hanya diberikan porsi waktunya pun hanyalah dua jam dalam seminggu,
sangat jelas dengan demikian bangsa ini semakin hari semakin tidak mau tahu
dengan sejarah bangsanya. Sedari kecil saja sudah dijauhkan dari sejarah oleh
pemerintahnya melalui kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung pendidikan
sejarah bangsa ini.
Contohnya
real saat ini bangsa kita seakan-akan tidak lagi bisa mengendalikan berbagai
masalah-masalah hukum yang banyak menjerat para petinggi, pemegang
kekuasaan maupun masalah susila yang
samakin sering terajdi. Ini menunjukan bahwa cara penindakan gaya barat
tidaklah berhasil diterapakan pada bangsa ini. Jadi buat apa masih menggunakan
sesuatu hal yang jelas-jelas tidak sesuai dengna kultur bangsa kita padahal
kita memiliki kitab hukum sendiri buah tangan para ahli pikir putera bangsa
kita sendiri pada jaman Majapahit yakni kitab perundang-undangan “Kutaramanawadharmasastra”.
Memang terkesan tidak modern dan ketinggalan jaman, tapi terlepas dari yang
katanya ketinggalan jaman itu cobalah kita lihat isi dari kitab itu karena pada
masa itu saja pelaksanaannya berhasil karena hukumannya jelas dan tidak
bertele-tele dan tidak pandang bulu. Isi dari kitab tersebut antara lain
tentang ketentuan denda, delapan macam pembunuhan (astadusta), perihal hamba
(kawula), delapan macam pencurian (astacorah), pemaksaan (sahasa), jual beli
(adol-atuku), gadai (sanda), hutang piutang (ahutang-apihutnag), perkawinan
(kawarangan), perbuatan asusila (paradara), warisan (drewe kaliliran),
caci-maki (wakparusya), perkelahian (atukaran), masalah tanah (bhumi), dan
fitnah.
Melihat
dari komposisinya saya rasa layak untuk diterapkan buat kemajuan bangsa ini
kenapa tidak kita menggunakan warisan yang sudah diwariskan untuk kita. Jangan
hanya mau mengakui ketika diakui oleh
negara tetangga saja. Berikut contoh isi kitab kutaramanawa:
Pasal 87: “barangsiapa sengaja merampas kerbau atau
sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barangsiapa merampas hamba orang,
dendanya dua laksa.denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa.
Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala yang dirampas terutama hamba
dikembaliakan dua kalia lipat”.
Pasal 92: ”barangsiapa menebang pohon orang lain
tanpa seizin pemiliknya,dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa.
Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja; pohon
yang ditebang diganti dua kali lipat”.
Perlindungan
terhadap kaum perempuan juga diatur dengan tegas dalam beberapa bab di kitab
tersebut, antara lain:
Pasal 108: “jika seorang istri enggan terhadapa
suaminya, karena ia tidak suka kepadanya, uang tukan (mahar) harus dikembalikan
dua kalai lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak bercampur)”.
Pasal 192: “seorang wanita boleh kawain dengan
laki-laki lain, jika suaminnya hilang, jika suaminya meninggal dalam
perjalanan, jika terdengar bahwa suaminaya ingin menjadi pendeta, jika suaminya
tidak ‘mampu dalam” dalam percampuran, terutama jika ia menederita penyakit
budug, jika demikian kondisinya wanita itu boleh kawin dengan orang lain”.
Pasal 207: “barang siapa memegang seorang gadis,
kemudian gadis itu berteriak menangis sedangakan banyaj orang yang
mengetahuinya, buatlah orang-orang itu saksi sebagai tanda bukti. Orang yang
memegang itu kenakanlah pidana mati oleh raja yang berkuasa”.
Demikanlah
sebagian dari kitab kutaramanawa yang merupakan kitab perundang undangan yang
layak unutk dipergunakan untuk penindakan hukum di negara kita ini. Kitab ini
merupakan buah pikkiran para pemikir pada masanya dan sangat lokal dalam artian
bukan merupakan saduran dari kitab hukum dari India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar