Sabtu, 18 Mei 2013

Wilayah kekuasaan majapahit sama dengan indonesia kini?.




Mungkin sering ketika kita belajar sejarah Indonesia kuna, baik dari tingkat dasar hingga sekolah menengah atas para guru sejarah sering membuat pernyataan bahwa wilayah kekuasaan Majapahit adalah seluas wilayah Indonesia saat ini. Namun, apakah hal itu benar adanya. Pertanyaan ini terus menggantung ketika saya mulai belajar secara lebih mendalam lagi mengenai sejarah Indonesia itu khususnya kerajaan Majapahit sebagai kerajaan yang konon katanya menguasai wilayah Nusantara.
Setelah berdiskusi, berkonsultasi dengan yang lebih ahli, dan membaca berbagai buku-buku yang berkenaan dengan Majapahit ini akhirnya mata saya pun terbuka. Bahwa selama ini kita ternyata tertipu oleh pernyataan-pernyataan yang tanpa dasar yang mengatakan bahwa wilayah kekuasaan Majapahit adalah seluas Nusanatara saat ini. Mengapa demikian, sehingga sampai ada yang beranggapan bahwa pengertian kata Nusantara itu adalah pulau-pulau di antara dua Benua yang  merujuk pada wilayah Indonesia saat ini yang diapit oleh Benua Asia dan Benua Australia sehingga beranggapan bahwa wilayah Indonesia kini adalah seluas wilayah kekuasaan Majapahit. Hal ini timbul dan menjadi sebuah keyakinan sebagian orang dikarenakan respon mereka terhadap pernyataan para Founding Father negara kita ini yang selalu mengatakan dalam setiap pidatonya mengenai Nusantara  seluas wilayah kekuasaan Majapahit dulu. Hal ini dilakukan oleh mereka agar mengobarkan semangat juang rakyat Indonesia saat itu untuk melawan penjajahan asing dan untuk mempersatukan rakyat Indonesia yang terpisah oleh luasnya lautan yang seakan membentengi kita. Diharapkan dengan pernyataan tersebut rakyat terlecut semangat berjuangnya dan memang itu terjadi rakyat menjadi bersemangat dan  termotivasi untuk berjuang mengusir penjajahan asing. Namun, dilain pihak rakyat menjadi seakan-akan meyakini hal itu dengan hati mereka dan menjadikan hal itu sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu lagi dicari kebenarannya.
Lalu apa makna sebenarnya Nusantara itu dan seluas apakah wilayah kekuasaan Majapahit itu?. Menurut Dr. Hasan Djafar, Nusantara berasal dari dari dua kata yakni Nusa dan Antara, Nusa memiliki arti Pulau-pulau daerah, sedangkan  Antara memiliki arti yang lain dari pada Majapahit. Jadi, kesimpulanya Nusantara adalah pulau-pulau yang lain di antara Majapahit. Maksudnya adalah pulau-pulau diluar wilayah kekuasaan Majapahit namun mereka memiliki hubungan yang cukup erat dengan Majapahit dalam hal perniagaan dan pelayaran karena pada kurun 1350-1389 pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit memiliki pengaruh yang kuat dalam hal perniagaan di Nusantara. Memang wilayah-wilayah Nusantara atau wilayah diluar pulau Jawa banyak yang mengakui kebesaran Majapahit namun mengakui kebesaran itu tidak lantas mereka menjadi negara bawahan atau wilayah dari kekuasaan Majapahit. Hal ini terlihat dengan dikirimnya utusan setiap tahunya ke Istana Hayam wuruk pengiriman utusan dan upeti ini bukan akibat dari penyerangan armanda perang Majapahit  ke daerah-daerah tersebut, melainkan karena perjalanan muhibah armada dagang Majapahit yang megah ke daerah-daerah. Mereka lalu kagum dengan kebesaran Majapahit lalu rela mengirimkan upeti setiap tahunya. Majapahit menganggap bahwa daerah-daerah itu sebagai Mitra satata daerah-daerah sahabat dan dalam Nagarakrtagama tertulis bahwa Majapahit memiliki kewajiban untuk melindungi daerah-daerah kerajaan Nusantara (Mandala Nusantara). Hubungan Majapahit dengan Nusantara yakni untuk membuat sebuah ikatan pelayaran antar kerajaan Nusantara, Majapahit saat itu bisa dikatakan sebagai kerajaan adikuasa. Majapahit sendiri memiliki surplus hasil bumi sehingga memerlukan daerah pemasaran sehingga wilayah-wilayah kerajaan lain itu penting, dengan demikian akan terjadi timbal balik dari kerajaan-kerajaan Nusantara tersebut.
 Wilayah kekuasaan Majapahit hanyalah daerah sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Bali. Hal ini di buktikan oleh kitab Bujangga Manik yang ditulis oleh Bujangga Manik sendiri ia melakukan perjalanan mengelilingi pulau Jawa. Dalam salah satu laporan perjalanannya ia menyatakan bahwa wilayah kekuasaan Majapahit terbentang dari Bali sampai ke Cipamali atau kali pemali sekarang yang berada di kebupaten Brebes. Dalam uraian kakawin Nagarakrtagama terdapat wilayah-wilayah di luar Jawa yang mengakui kejayaan Majapahit. Prapanca menguraikan dalam dua pupuh, yaitu pupuh 13 dan 14. Wilayah-wilayah itu terdapat di Sumatera, Semenanjung Malayu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan daerah pantai Papua barat.adapun dalam baris satu pupuh 15 disebutkan adanya negara-negara sahabat Majapahit seperti Syangka (Siam), Ayodhyapura (pedalaman Thailand), Darmanagari (Dharmanarajnagara/Ligor), Marutma (Martaban, daerah selatan Thailand), Rajjapuri ( Rajpuri daerah selatan Thailand), Singhanagari (daerah di tepi sungai Menam), Campa, Kamboja, Yawana (Annam Vietnam).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya wilayah kekuasaan Majapahit tidaklah seperti yang kita bayangkan selama ini. Wilayah kekuasaanya seperti yang saya utarakan di atas memang Majapahit memiliki pengaruh-pengaruh diberbagai daerah di Nusantara. namun, hal itu bukan karena Majapahit menduduki wilayah itu tapi karena ada kekaguman wilayah-wilayah itu sehingga mengadopsi berbagai macam hal yang berbau Majapahit.

"Kutaramana Dharmasastra" kitab perundangan yang layak digunakan negeri ini



Sejarah bangsa Indonesia merupakan sejarah panjang peradaban dari berbagai dinasti-dinasti yang berkuasa. Dengan demikian tidak sedikit dari warisan-warisan yang ditinggalkan untuk kemajuan bangsa ini diantaranya adalah buah pikiran dan kitab-kitab hukum dan kesusasteraaan sehingga tidak perlulah kita mengadopsi berbagai hal-nya dari dunia barat. Kita sebagai bangsa Indonesia haruslah mementahakan teori dari A. Toynbee yang menyatakan bahwa dunia berhutang budi pada barat dalam berbagai halnya. Indonesia dengan barat lebih dahulu Indonesia dalam hal mencapai peradaban.
Sebagai sebuah bangsa yang kaya akan berbagai buah pikiran bangsa ini cenderung miskin pengetahuan. Sungguh ironis memang tapi itulah kenyataannya begitu banyak kitab-kitab yang bernilai tinggi dan pastinya tidak kalah isinya dengan buku-buku modern buatan bangsa asing. Tapi, seolah-olah bangsa ini malu untuk mempergunakan dan mempublikasikannya dalam dunia pendidikan sedari dini. Hal inilah yang menghambat kemajuan bangsa karena untuk menghargai sejarahnya saja tidak mau. Bayangkan di sekolah mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas pendidikan sejarah seolah-olah tidak perlu dan di nomor sekiankan, lembaga pendidikan lebih mengutamakan pelajaran-pelajaran berhitung, kemudian bahasa dsb. Sejarah hanya diberikan porsi waktunya pun hanyalah dua jam dalam seminggu, sangat jelas dengan demikian bangsa ini semakin hari semakin tidak mau tahu dengan sejarah bangsanya. Sedari kecil saja sudah dijauhkan dari sejarah oleh pemerintahnya melalui kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung pendidikan sejarah bangsa ini.
Contohnya real saat ini bangsa kita seakan-akan tidak lagi bisa mengendalikan berbagai masalah-masalah hukum yang banyak menjerat para petinggi, pemegang kekuasaan  maupun masalah susila yang samakin sering terajdi. Ini menunjukan bahwa cara penindakan gaya barat tidaklah berhasil diterapakan pada bangsa ini. Jadi buat apa masih menggunakan sesuatu hal yang jelas-jelas tidak sesuai dengna kultur bangsa kita padahal kita memiliki kitab hukum sendiri buah tangan para ahli pikir putera bangsa kita sendiri pada jaman Majapahit yakni kitab perundang-undangan “Kutaramanawadharmasastra”. Memang terkesan tidak modern dan ketinggalan jaman, tapi terlepas dari yang katanya ketinggalan jaman itu cobalah kita lihat isi dari kitab itu karena pada masa itu saja pelaksanaannya berhasil karena hukumannya jelas dan tidak bertele-tele dan tidak pandang bulu. Isi dari kitab tersebut antara lain tentang ketentuan denda, delapan macam pembunuhan (astadusta), perihal hamba (kawula), delapan macam pencurian (astacorah), pemaksaan (sahasa), jual beli (adol-atuku), gadai (sanda), hutang piutang (ahutang-apihutnag), perkawinan (kawarangan), perbuatan asusila (paradara), warisan (drewe kaliliran), caci-maki (wakparusya), perkelahian (atukaran), masalah tanah (bhumi), dan fitnah.
Melihat dari komposisinya saya rasa layak untuk diterapkan buat kemajuan bangsa ini kenapa tidak kita menggunakan warisan yang sudah diwariskan untuk kita. Jangan hanya mau mengakui ketika  diakui oleh negara tetangga saja. Berikut contoh isi kitab kutaramanawa:
Pasal 87: “barangsiapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barangsiapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa.denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala yang dirampas terutama hamba dikembaliakan dua kalia lipat”.

Pasal 92: ”barangsiapa menebang pohon orang lain tanpa seizin pemiliknya,dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja; pohon yang ditebang diganti dua kali lipat”.

Perlindungan terhadap kaum perempuan juga diatur dengan tegas dalam beberapa bab di kitab tersebut, antara lain:

Pasal 108: “jika seorang istri enggan terhadapa suaminya, karena ia tidak suka kepadanya, uang tukan (mahar) harus dikembalikan dua kalai lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak  bercampur)”.

Pasal 192: “seorang wanita boleh kawain dengan laki-laki lain, jika suaminnya hilang, jika suaminya meninggal dalam perjalanan, jika terdengar bahwa suaminaya ingin menjadi pendeta, jika suaminya tidak ‘mampu dalam” dalam percampuran, terutama jika ia menederita penyakit budug, jika demikian kondisinya wanita itu boleh kawin dengan orang lain”.

Pasal 207: “barang siapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak menangis sedangakan banyaj orang yang mengetahuinya, buatlah orang-orang itu saksi sebagai tanda bukti. Orang yang memegang itu kenakanlah pidana mati oleh raja yang berkuasa”.

Demikanlah sebagian dari kitab kutaramanawa yang merupakan kitab perundang undangan yang layak unutk dipergunakan untuk penindakan hukum di negara kita ini. Kitab ini merupakan buah pikkiran para pemikir pada masanya dan sangat lokal dalam artian bukan merupakan saduran dari kitab hukum dari India.

Makna Sirna Ilan Kertanin Bhumi



Apa makna “Sirna Ilan Kertanin Bhumi” (Saka 1400/1478 M)

Merupakan Candrasengkala dari Serat Kanda yang selama ini dideskripsikan sebagai saat keruntuhan Majapahit. Namun apakah hal itu benar, lantas peristiwa apa yang sebenarnya terjadi di Majapahit, sumber sejarah apa sajakah yang bisa dijadikan sebagai bukti mengenai hal itu, dan kapan sebenarnya Majaphit runtuh.
            Hal ini merupakan perdebatan para sejarawan sejak dulu. Ada sebagian yang berpendapat bahwa hal itu memang benar tahun saat jatuh dan runtuhnya Majapahit namun tidak sedikit pula yang menganggap berbeda lantas bagaimana yang sebenarnya, berikut penjelasan singkatnya.
            Berita tradisi mengenai keruntuhan Majapahit pada Saka 1400, yang disimpulkan dalam candra sengkala sirna ilan kertanin bhumi” dari serat kanda, harus ditafsirkan sebagai peristiwa perebutan takhta yang dilakukan oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya terhadap Bhre Krtabhumi. Seperti yang diungkapakan di dalam prasasti-prasastinya, pada Saka 1400 Ranawijaya melakukan penyerangan ke Majapahit (yuddha lawanin Majapahit). Dalam penyerangan itu Bhre Krtabhumi gugur di kedaton dan Ranawijaya sebagai pewaris yang sah kembali menguasai kembali kerajaan Majapahit (Djafar, 1978: 129).
            Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa Majapahit runtuh pada Saka 1400 itu merupakan sebuah kekeliruan dalam penafsiran bukti sejarah dan bisa dibilang sebagai ketidak tepatan. Karena, hanya berdasarkan sumber sejarah tradisional yang tidak bisa begitu saja dijadikan sebagai pegangan atau sumber sejarah yang relevan.
            Jelas bahwa pada waktu itu, Majapahit  masih berdiri. Bukti-bukti epigrafi yang berasal dari tahun Saka 1408 (1486 M), yaitu prasasti-prasasti dari Raja Girindrawarddhana dengan jelas menyabutkan dirinya sebagai “Sri Maharaja Sri Wilwatikta”, menguatkan hal itu, adanya kegiatan pembangunan tempat-tempat suci keagamaan bercorak Hindu di lerang Gunung Penanggungan pada masa pemerintahan Ranawijaya antara tahun Saka 1408-1433, mendukung kenyataan bahwa kerajaan Majapahit masih ada pada waktu itu. Bahkan sebuah prasasti tembaga yaitu prasasti Pabanolan yang berangka tahun Saka 1463/1541 M masih menyebutkan tempat penulisannya di sebuah tempat suci di Wil(w)atikta (telas sinurat ri san hyan baturpajaran ri wil(w)atikta).
            Lantas kapan sebenranya Majaphit runtuh?. Kami berpendapat bahwa antara tahun 1518-1519, yaitu kira-kira 1521, Pati Unus telah menguasai Kerajaan Majapahit. Dengan dikuasainya Majapahit oleh Demak maka dapat dikatakan bahwa pada 1519  bahwa Majapahit telah kehilangan kedaulatan, dengan demikian pada 1519 untuk sementara dapat dikatakan sebagai keruntuhan kerajaan Majapahit. Sejak saat itu, maka kekuasaan raja-raja dari Dinasti Girindra yang telah berkuasa selama hampir 300 tahun lamanya di Kerajaan Singhasari dan Majapahit berakhir. Akan tetapi dengan berakhirnya Kerajaan Majapahit tidak berarti seluruh wilayah kekuasaan Majapahit jatuh ke tangan Demak dan menjadi Islam. Sampai akhir abad XVI, sisa-sisa kekuasaan Hindu ini masih ada, bahkan sampai akhir abad XVII daerah Balambangan masih merupakan sebuah kekuasaan Hindu (Kempers, 1959: 16; Meersman, 1967: 43-54; Krom, 1931: 466).
            Jadi, jelaslah bahwa sirna ilan kertanin bumi atau Saka 1400/1478 M bukanlah akhir dari kerajaan Majaphit. Karena, itu merupakan sebuah peristiwa dimana terjadi perebutan kekuasaan oleh Dyah Ranawijaya dari Bhre Khertabumi. Untuk sementara kita dapat perkirakan  akhir Majapahit antara tahun 1518-1521 M hal ini  berdasarkan bukti-bukti peninggalan sejarah yang ditemukan mengenai hal itu.

Sejarah Sebagai Gambaran Pribadi Bangsa



            Dalam menjalankan aktivitas tidak jarang kita terlibat dengan masalah-masalah ynag mungkin sekali bersangkutan dengan masalah kesejarahan. Mengapa demikian karena pada dasarnya kita ini hidup dalam asas kausalitas sejarah atau asas sebab akibat dalam sejarah. Karena, manusia merupakan pelaku sejarah itu sendiri kita hidup dalam arus sejarah atau dalam bahasa mudahnya adalah kita ada dalam sejarah itu sendiri. Oleh karena itu bohong apabila ada orang yang menganggap bahwa dirinya adalah makhluk modern karena kita hakikatnya adalah makhluk purba baik sekarang ataupun pada masa yang akan datang. Waktu terus berjalan dengan sesukanya tanpa ada yang bisa menghalangi baik itu teknologi terhebat sekalipun. Manusia layaknya awan yang hanya bisa mengikuti arah angin tidak bisa melawan angin, seringan itulah manusia dalam lingkup sejarah atau arus sejarah itu.
            Kepribadian manusia merupakan gambaran dari berbagai peristiwa masa lalu yang pernah dihadapinya. Ini terlihat dari apa-apa yang tersisa dari perjalanan sejarah yang ia lalui baik secara sadar maupun tidak karena kehidupan adalah sejarah, tergantung manusia itu mau menuliskan dengan tinta emas ataukah dengan darah kehidupannya atau sejarah hidupnya itu.
Pribadi seseorang atau kelompok dapat diinterpretasikan sebagai gambaran dari bangsanya. Dahulu Indonesia terkenal dengan keramahan rakyatnya namun seiring berkembangnya jaman semua itu berubah terutama sekali di kota-kota besar. Ini menunjukan bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan makna kepribadiannya dan terpengaruh oleh pribadi yang didapatkan dari sejarah bangsa-bangsa lain yang jelas berbeda kultur dengan bangsa Indonesia itu. Lantas apakah kita harus menutup diri dari pergaulan bangsa lain?. Menurut saya hal itu layak dilakukan oleh bangsa ini sebagai benteng terhadap  kepribadian bangsa yang telah tumbuh dan melalui proses berabad-abad lalu. Dengan segala potensi yang dimiliki oleh bangsa ini harusnya kita menjadi subjek bukan melulu menjadi objek perahan dan pengaruh bangsa-bangsa yang tidak mengerti pribadi bangsa ini.
Kepribadian bangsa ini telah tumbuh dan berkembang sejak 2,5 juta tahun yang lalu dengan berbagai masukan-masukan dari daerah lain tumbuh dan berkembang menjadi budaya dan kepribadian yang lain dari pada yang lain. Kemudian masuk ke jaman Hindu, Budha, Islam, dan Kolonial yang mempengaruhi kepribadian bangsa ini terutama adalah masa-masa kolonial yang bermula sejak kedatangan bangsa-bangsa asing barat yang merusak tatanan kepribadian bangsa ini. Sejak saat itulah sedikit demi sedikit bangsa ini kehilangan kepribadian yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya yang telah dijaga selama berabad-abad lamanya.
Hanya sedikit dari bagian bangsa ini yang masih memegang erat kepribadianya itupun sudah mulai bercampur dengan kemodernan. Globalisasi  merupakan racun yang secara tidak kita sadari adalah penghancur kepribadian bangsa. Bagaimana tidak, dengan adanya globalisasi banyak manusia yang melupakan pribadinya sebagai bangsa Indonesia yang senang untuk bersosial, bergotong royong, saling perduli, dan tenggang rasa semua itu hilang dihancurkan oleh globalisasi.
Kini bangsa Indonesia lebih senang menggunakan segala hal yang berbau luar sedikit yang sayang dan cinta dengan produk dalam negeri entah itu barang maupuan produk-produk budaya bangsa kita ini. Hal yang demikian itu merupakan bentuk dari mulai terdegradasinya kepribadian bangsa kita ini digantikan oleh kepribadian bangsa asing yang perkembangannya semakin mengkhawatirkan eksistensi kepribadian bangsa ini. Pemuda dan pemudi saat ini lebih bangga menggunakan membubuhkan bahasa asing dalam bahasa kesehariannya yang menurut mereka itu adalah gaul mereka malu menggunakan bahasa asli dari daerah asal mereka terlepas dari bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dari ribuan bahasa daerah negara kita ini.
Begitu besar dan luhurnya kepribadian yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia ini. Begitu luar biasanya peradaban yang telah diciptakan oleh para leluhur kita. Lantas apakah kita yang mengaku sebagai bangsa Indonesia mau tahu akan hal itu, jawabanya adalah jarang yang mau tahu. Mungkin hanya sedikit yang perduli dan sayang akan hal yang demikian itu.
Bangsa ini sudah tidak memiliki yang namanya local genius layaknya nenek moyang kita. Bagaimana dengan kegeniusannya mereka menyatukan budaya-budaya asing, memilah-milih budaya yang sesuai dengan kepribadiannya, bahkan menghasilkan sebuah budaya baru. Bangsa kita saat ini kehilangan yang demikan itu sehingga mereka meninggalkan keaslian mereka menggantikannya dengan budaya baru tanpa berpikir cocok atau tidak dengan kepribadian bangsanya.